Showing posts with label STARTUP. Show all posts
Showing posts with label STARTUP. Show all posts

Punya Istri Cuma Satu, Ayo Poligami Dapatkan Istri Selanjutnya

Add Comment
Perkembangan dunia startup di indonesia semakin pesat, berbagai istansi, inkubator dan lainnya berlomba-lomba untuk mewujudkan misi pemerintah agar indonesia punya 1000 stratup pada tahun 2020 yang mendapatkan unicorn founding dan memunculkan keunikan keunikan dari setiap daerah di indonesia, mulai dari ide startup tentang Travel, E-commerce, sampai tentang Kehilangan barang




Namun Ada yang unik dalam event startup baru-baru ini muncul, sesuai judulnya poligami, ada salah satu startup yang memakai ide ini yakni Ayopoligami.com Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan. Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).

Banyak wanita yang tidak rela bila suaminya menikah lagi, hmmm saya pun juga tidak menganjurkannya, walaupun poligami tidak dilarang dalam agama maupun pemerintah, tapi hal ini masih sedikit tabu untuk sebuah keluarga.




Tapi keberanian startup ini patut di acungi jempol, karena mereka mengangkat tema poligami. Dalam ulasannya, AyoPoligami.com adalah platform yang berusaha untuk mempertemukan pengguna pria dengan wanita yang bersedia membuat ‘keluarga besar’ dari satu suami. Para lajang maupun yang sudah menikah, janda atau duda, diterima dengan tangan terbuka di sini. Platform ini dibuat oleh Pandu Solusi dengan mendapatkan bintang sebanyak 4.5 dan peringkat 3

Walaupun masi menimbulkan pro dan kontra, nyatanya aplikasi ini telah di unduh lebih dari 1000 kali dengan berbagai tanggapan di komentarnya, Anda berniat mencoba? saya sarankan minta persetujuan istri anda dulu ya, Punya Istri Cuma Satu, Ayo Poligami Dapatkan Istri Selanjutnya. Kalo disetujui silahkan download aplikasinya di Playstore.

Jika Anda Suka Artikel Ini, Share Dan Like Di Kolom Bawah Ini.


Persaingan Sengit Kompetitor, Alasan Tiket Terima Pinangan Akuisisi dari Blibli

Add Comment
Pada tanggal 15 Juni 2017, Chief Communication Officer Tiket.com Gaery Undarsa mengumumkan kalau sejak tanggal 12 Juni 2017 yang lalu startup yang ia pimpin telah diakuisisi seratus persen oleh e-commerce Blibli. Persaingan yang sengit dengan layanan pemesanan tiket dan hotel lain seperti Traveloka, menjadi sebagai alasan di balik akuisisi ini.

“Ini salah satu hal yang menarik. Tiket sudah enam tahun berdiri, telah meraih pendapatan beberapa triliun rupiah, tapi kami hanya mempunyai angel investor. Di akhir 2016, kami mulai melihat kalau skala persaingan sudah begitu sengit. Kami butuh mitra, dan mulai membuka pintu untuk investor,” ujar Gaery.

Mengenai alasan mengapa memilih Blibli sebagai investor, Gaery mengatakan kalau pihak Tiket merasa ada beberapa persamaan sejak melakukan pertemuan dengan pihak Blibli untuk pertama kalinya. “Kami merasa ada chemistry, sudah nyambung sejak pertemuan pertama. Itu menurut saya yang enggak bisa dibeli,” ucapnya.

Sedangkan CEO Blibli, Kusumo Martanto, mengungkapkan pihaknya tertarik mengakuisisi Tiket karena melihat besarnya bisnis travel online. Blibli sendiri saat ini telah mulai berekspansi menjual tiket kereta api dan hotel.

“Dari situ kita mulai berpikir, mau pertumbuhan secara organik, atau mencari perusahaan lain untuk dijadikan partner. Saat teman-teman dari Tiket datang, kami lihat boleh juga. Visi misi sama, ingin bisnis yang suistanable,” ujar Kusumo.

Mengenai nominal investasi yang digelontorkan untuk mengakuisisi Tiket, Kusumo tak bisa mengungkapkannya. “Pokoknya secara jumlah, semua happy lah,” timpal Gaery.

George Hendrata menjadi CEO baru Tiket



Setelah proses akuisisi, tak ada terlalu banyak perubahan terkait susunan manajemen di Tiket. Gaery Undarsa akan tetap menempati posisi CCO, dan Natali Ardianto pun akan tetap mengisi posisi CTO.

Praktis hanya posisi CEO Tiket saja yang mengalami perubahan. Jabatan tersebut akan dipegang oleh George Hendrata, yang juga menjabat sebagai Direktur Pengembangan / Diversifikasi Bisnis Djarum, yang merupakan pemilik dari Blibli.

Setelah resmi menjabat CEO Tiket, George mengatakan akan tetap fokus menghadirkan yang terbaik bagi para pelanggan. Menurutnya, proses akuisisi ini membuat penyatuan bisnis travel yang lebih rapi antara Blibli dan Tiket.

Kedua perusahaan tersebut pun akan tetap beroperasi secara terpisah. “Perusahaan nanti berjalan sendiri-sendiri. Tapi kita sudah ada rencana apa yang akan kita kerjakan bersama,” pungkas Gaery.

Developer Circles dari Facebook, Kesempatan Emas Buat Raih Sukses!

Add Comment
.

Siapa sih yang gak kenal Facebook? Indonesia udah jadi negara dengan pengguna Facebook terbanyak dan kabar baiknya sekarang makin banyak kesempatan emas buat para pengembang lokal di Indonesia karena program baru yang baru diumumkan oleh Facebook
Ya, Akhirnya secara resmi, Facebook meluncurkan Developer Circles (DevC), sebuah program baru untuk pengembang aplikasi di seluruh dunia untuk terhubung, belajar, dan berkolaborasi dengan pengembang lokal lainnya.

Developer Circles dari Facebook, Kesempatan Emas Buat Raih Sukses!

Diprakarsai Komunitas Lokal



Kalian bisa bergabung gratis dan terbuka lebar bagi pengembang manapun. Masing-masing Developer Circle akan dipimpin oleh anggota komunitas lokal yang berperan sebagai pemimpin dalam circle, mengadakan aktivitas offline dan mengelola komunitas lokal Facebook secara online.

Kali ini bermitra dengan Malang Digital Innovation Lounge dan SUB Co menyelenggarakan pertemuan F8 di Malang dan Surabaya untuk mengumpulkan startup, pengembang dan pemsar lokal. Kesuksesan buat mereka bisa dimulai dari sini.

Kedua kota ini selalu berada dalam peringkat tiga besar dibandingkan dengan DevC lainnya di seluruh dunia.


Didukung oleh Facebook


Facebook bakal ngebantu banget buat kamu yang pengen membangun startup, pasalnya dengan Developer Circles, bakal mudah untuk mengadakan pertemuan dan hackaton. Masing-masing circle local juga akan memiliki Facebook Group khusus jadi bisa terus saling terhubung.

Gak hanya itu, pengembang bisa berbagi kode, tautan, video dan apapun yang telah mereka bagikan di Facebook. Ada juga tahap percobaan pada fitur Grup Facebook dengan komunitas Developer Circles kayak unit pembelajaran sosial yang terdiri dari pelatihan yang berurutan yang memungkinkan pengembang untuk memperdalam pengetahuan mereka mengenai React dan Bot di Messenger. Kapan lagi bisa dapet ilmu gratis!

Lalu, Udacity salah satu platform pelatihan terbesar di dunia juga jadi mitra untuk meluncurkan program pelatihan Facebook yang dapat di kustomisasi untuk komunitas Developer Circles, yang akan tersedia melalui Facebook Group Developer Circles, Weber Shandwick dan Udacity.

Pengembang Lokal Punya Potensi

Ketika program Developer Circles masih dalam tahap awal, terlihat potensi besar dari komunitas pengembang lokal.

Salah satu contohnya, Faten Ghriss, pemimpin Developer Circle di Tunisia, mempelajari Computer Network and Telecommunication Science di Tunisia, namun menghabiskan satu tahun untuk program pertukaran pelajaran di Minnesota, Amerika Serikat yang membuatnya menyadari untuk berkontribusi kepada komunitas. Akhirnya, ia balik ke Tunisia dan mendirikan oung Tunisian Coders Academy yang mengajarkan anak-anak untuk coding.

Faten pertama kali denger tentang Developer Circle di suatu konferensi, saat itu ia juga menjadi pembicaranya. Gak lama akhirnya memutuskan untuk bikin Circlenya sendiri dan ngadain pertemuan pertama pada bulan Maret 2017. Pertemuan yang berfokus pada Bot di Messenger itu sekarang memiliki lebih dari 200 pendaftaran dan berdasarkan pungutan suara dari komunitas ia menyelenggarakan pertemuan selanjutnya melalui virtual reality dan machine learning.
Cara Mengikuti Developer Circles

Banyak orang yang udah ngerasain manfaatnya, seperti dapet pekerjaan baru, terhubung dengan coding bootcamps dan mendapatkan dukungan langsung untuk membuat produk pengembang Facebook.

Developer Circles dari Facebook ini terbuka untuk semua orang di seluruh dunia, jadi tunggu apalagi? Yuk, gabung dan ajak teman-temanmu! Udah saatnya kamu ambil kesempatan emas ini, kunjungi Developer Circles Facebook untuk tau info selanjutnya.



 

Kemelut Antara Transportasi Konvensional dan Online, Siapa Yang Benar?

Add Comment
Berita gelombang aksi penolakan transportasi online semakin menyebar, boikot sampai mogok mangkal terjadi di wilayah yang terserang perluasan transportasi, UBER, GO-jek, Grab, adalah media transportasi online yang sering mendapat penolakan, mulai dari jakarta, bogor, bali, malang semua angkutan menolak transportasi online, dengan dalih menurunnya jumlah penumpang, lantas siapa yang benar? mengapa transportasi online disalahkan?



Mari kita mengulas sedikit saja tentang transportasi online, mungkin pertanyaan anda kenapa gojek bisa sebesar itu, apalagi Uber Dan Grab? padahal lebih dulu angkutan konvensional? perlu di ketahui Go-jek Belum lama ini, perusahaan penyedia transportasi online Go-Jek mendapat suntikan dana $550 juta atau setara Rp7 triliun (kurs Rp13.000 per dolar AS) dari perusahaan investasi asal Amerika Serikat KKR & Co. dan Warbug Pincus. Siapa sangka, investasi perusahaan asing tersebut membuat Go-Jek kini lebih bernilai daripada perusahaan transportasi konvensional?



Masuknya modal besar membuat perusahaan transportasi berbasis teknologi ini lebih bernilai daripada perusahaan transportasi konvensional besar yang sejak lama beroperasi di Indonesia, seperti maskapai Garuda Indonesia, dan operator taksi Blue Bird, yang sebenarnya memiliki aset bernilai tinggi. dan di kabarkan melebihi Garuda Indonesia? hal seperi inilah yang membuat kecemburuan di kalangan angkutan umum.

Pada dasarnya cara kerja Gojek ini adalah mempermudah cara memesan layanan seperti ojek, antar makanan dan layanan-layanan lainnya melalui aplikasi android/iOS dengan informasi tarif yang sudah diinformasikan sebelumnya

Pemerintah pun turut andil dalam menerapkan kebijakan, tapi apakah dengan menerapkan tarif atas dan bawah akan mampu meredam para supir angkutan yang marah karena penumpangnya mulai sepi?

Namun yang perlu di garis bawahi, model bisnis aplikasi seperti Go-Jek, ini hanya mempertemukan pemilik kendaraan dan user atau penumpang. pada dasarnya kalau mereka terlebih dulu merangkul para angkutan umum, mungkin aksi demo seperti itu tidak akan terjadi.

salah satu startup di malang bernama Tabook, adalah salah satu startup yang menerapkan model bisnis yang berbeda, tabook adalah startup yang bergerak dalam bidang travel, layaknya traveloka mereka terlebih dahulu merangkul para agen kendaraan umum untuk di jadikan bagian dari aplikasi secara struktural.

Jadi menurut kalian sistem manakah yang baik untuk di terapkan di indonesia? tulis pendapatmu di komentar!!

4 Hal Yang Harus Kamu Ketahui Sebelum Mencari Partner Usahamu

Add Comment
4 Hal Yang Harus Kamu Ketahui Sebelum Mencari Partner Usahamu
Linkfo.id--- Membangun usaha sejak usia muda menjadi pilihan anak muda saat ini, dengan title keren membuat para anak muda sekarang mencoba keberuntungan di dunia usaha, dengan usaha gigih untuk suskses menjadikan dunia usaha lebih menjanjikan seperti contohnya Yasa Singgih founder dari Men’s Republic brand fashion untuk pria, sampai pengusaha muda Willian T founder dari Tokopedia.



Ada beberapa hal yang harus di pastikan sebelum memulai usaha,Pengusaha bilang 98% usaha itu adalah gagal, bukan bagaimana ide kita atau sebagus apapun ide kita namun yang paling mempengaruhi adalah bagaimana eksekusi kita terhadap ide itu, action kita yang menentukan ide itu bagus atau tidak, ide itu jalan atau tidak,

Dari banyaknya value yang mempengaruhi usaha kita salah satunya adalah Co-founder, kenapa co-founder? co-founder adalah orang atau partner usaha yang membantu kita mengembangkan usaha kita, yang mengoreksi kita kalau ada kesalahan, mengkolaborasikan ide kita agar jalan dan sustainable.

4 Hal Yang Harus Kamu Ketahui Sebelum Mencari Partner Usahamu

1. Visi Misi Yang Sama
Penting sekali bagi kita saat akan membuat sebuah usaha, anak sekarang bilang startup, visi misi penting karena tanpa kesamaan tujuan usaha kita tidak akan berkembang, atau bercabang tidak jelas dan ujung-unjungnya bentrok karena pemikiran yang tidak sama, menentukan visi misimu dan membagikannya ke co-founder yang cocok untukmu membuat kamu semakin bersemangat untuk membangun usahamu



2. Kenapa Kamu Membutuhkan Co-founder?
Dari statement di atas kamu juga harus memikirkan kenapa kamu perlu co-founder?, dengan adanya co-founder kamu bisa berbagi ide yang kamu fikirkan, ide itu murah tapi yang mahal adalah eksekusinya dengan adanya co-founder kamu dapat mengkolaborasikan idemu, mendapat support emotional ketika usahamu berada di ujung tanduk, co-founder adalah orang yang dapat memotivasimu.



3. The TEAM
Tim yang solid membuat proses dalam usaha semakin mudah, selain itu tugas yang berbedabeda membutuhkan skill yang berbeda-beda, kamu tentunya tidak ingin jadi superman yang menjalankan semuanya sendirian kan ? dengan adanya co-founder tugasmu jadi lebih ringan, Co-founder yang punya koneksi yang banyak bakalan membantu dan membuat usahamu lebih dikenal.




4. Kamu Perlu Mengetahui Pyramid Framework
Kata co-founder kibar mencari co-founder ibarat mencari jodoh, harus klik, harus match, harus cocok, untuk mengetahui itu semua kamu perlu belajar yang namanya pyramid framework, metode yang sering digunakan para pengusaha, mulai dari dasar yakni share vision, Mutual Trust, Complementary skill, sampai puncak piramid compatible personalities



-shared vision seperti yang telah di jelaskan di awal, yakni visi misi yang sama dan konkrit yang menjadi acuan untuk menjalankan usaha
-Mutual Trust Kepercayaan adalah kunci mencari co-founder kamu harus percaya dengan partnermu, kamu harus percaya apa yang dikerjakan partnermu sebagai bagian dari masing-masing tugas, loyalitas tinggi, presisten, fair.
-Complementary Skill skill yang berbeda akan menciptakan kolaborasi yang hebat
-Compatible Personality Yang penting Cocok dan saling melengkapi.


The 10 Most Popular Startup Revenue Models

Add Comment

Regardless of how good your product, service, or app is, it’s only useful when you can get it into the hands of your target customers. But once you’ve got a finalized offering, selling it should be easy, right? Not really. There are countless factors that need to be taken into account when you set out to bring your product to market, like the industry you’re in, whether you’re selling a web-based product or physical hardware, the channels you use to attract your customers, etc.

And that’s why we’ve prepared an extensive guide that clearly outlines some of the most commonly used revenue models startups use to sell their offerings, along with the advantages and disadvantages of each to help you pick the best revenue model for your company.

Business Model vs Revenue Model vs Revenue Stream

Before we delve into the different types of revenue models, we should spend a little time differentiating between the terms "business model", "revenue model", and "revenue stream", as they are very often used interchangeably. In the GlowingStart article, "What Is The Difference Between A Revenue Model, Revenue Stream And A Business Model", Alex Genadinik does a great job explaining the difference between those terms. They are summarized below:

    A revenue stream is a company’s single source of revenue. A company can have zero or many revenue streams, depending on its size.

    A revenue model is the strategy of managing a company’s revenue streams and the resources required for each revenue stream.

    A business model is the structure comprised of all aspects of a company, including revenue model and revenue streams, and describes how they all work together.

Types of Revenue Models

There are numerous types of revenue models, so this list in no way attempts to list them all, especially since so many of them go by other names in the startup community. However, below are ten of the most popular and effective revenue models employed by companies, both big and small.

Genadinik’s article, “Different Revenue Models”, covers some of the more common revenue models that countless recently-launched startups use to generate their first sales. Here are the revenue models he covers below:

1. Ad-Based Revenue Model

Ad-based revenue models entail creating ads for a specific website, service, app, or other product, and placing them on strategic, high-traffic channels. If your company has a website or you have a web-based company, Google’s AdSense is one of the most common tools get ads. For most websites, AdSense will earn about $5-10 per 1,000 page views.

    Advantages: Making money from ads is one of the simplest and easiest ways to implement revenue models, which is why so many companies utilize ads as a source of revenue.
    Disadvantages: In order to generate sufficient revenue to withhold a business, you will need to attract millions of users. In addition, most people find ads annoying, which can lead to low clickthrough rates, and therefore, lower revenue.

2. Affiliate Revenue Model

Another popular web-based revenue model is the affiliate revenue model, which works by promoting links to relevant products and collecting commission on the sales of those products, and can even work in conjunction with ads or separately.

    Advantages: One of the most obvious benefits of employing an affiliate revenue model is that it generally makes more money than ad-based revenue models.
    Disadvantages: If you use an affiliate revenue model for your startup, remember that the amount of money you make is limited to the size of your industry, the types of products you sell, and your audience.

3. Transactional Revenue Model

Countless companies, both tech-oriented and otherwise, strive to rely on the transactional revenue model, and for good reason too. This method is one of the most direct ways of generating revenue, as it entails a company providing a service or product and customers paying them for it.

    Advantages: Consumers are more attracted to this experience because of its simplicity and the wider set of options.
    Disadvantages: Because of the directness of the transactional revenue model, many companies employ it themselves, which means more competition and price deterioration, and therefore, less money to made for everyone who uses this model.


4. Subscription Revenue Model

The subscription revenue model entails offering your customers a product or service that customers can pay for over a longer period of time, usually month to month, or even year to year.

    Advantages: If your company is far enough along in its development, this model can generate recurring revenue, and can even benefit from customers who are simply too lazy to cancel their subscription to your company (which is the dirty little secret of a subscription-based model).
    Disadvantages: Because this model depends so much on having a large consumer base, it’s critical to maintain a higher subscribe rate than an unsubscribe rate.

In the blog post “Comparing Business Models to Sales Models”, Dave Parker outlines the various ways that a company can sell their product or service, emphasizing how the market you pick affects the way in which you take your product to market. Here are the methods he describes:

5. Web Sales

This is an offshoot of the transactional revenue model, in which a customer pays directly for a product or service, except that customers must first come to your company via a web search or outbound marketing, and conduct transactions solely over the internet.

    Advantages: Web sales work with a wide variety of offerings, including software, hardware, and even subscription services.
    Disadvantages: Relationship sales are incompatible with the web sales model, so if your company is related to consulting or big ticket items (high-value items such as houses, appliances, and cars), you should consider employing a model that’s more suited to your offering.

6. Direct Sales

There are two types of direct sales: inside sales, in which someone calls in to place an order or sales agents calling prospects; and outside sales, which is a face to face sales transaction.

    Advantages: Direct sales models work great with relationship sales cycles, enterprise sales cycles, or complex sales cycles that entail multiple buyers and influencers.
    Disadvantages: The direct sales model often requires hiring a sales team of some sort, which means that it isn’t optimal for small ticket price items. If your offering is priced below the $1,000-$2,000 range, you’ll have trouble building a scalable company.

7. Channel Sales (or Indirect Sales)

The channel sales model consists of agents or resellers selling your product for you and either you or the reseller delivering the product. The affiliate revenue model is a good companion model to this one, especially if your offering is a virtual product.

    Advantages: The channel sales model is ideal for companies who have a product that’s an incremental sale for their channel and can produce incremental profit.
    Disadvantages: Don’t employ this model if your product requires you to evangelize your marketplace, or if your product competes with that of your partner’s, as they will push theirs and not yours.

8. Retail Sales

Retail sales entails setting up a traditional department store or retail store in which you offer physical goods to your customers. Keep in mind that the retail sales model will require shelf space (that you’ll have to pay for) at existing stores, and is best suited for products that require logistics to reach your customers.

    Advantages: Retail sales is a great way to offer deals and complimentary products to an existing customer base to help boost brand awareness.
    Disadvantages: The retail sales route is not ideal for early stage companies, or companies that offer digital products like software or apps.

In the Domain.me article, “Planning The Expansion and Revenue Models for your Startup”, Sarah Green lists even more effective revenue models for startups, including two that are based around the idea of giving something to your customers for free to help generate revenue at a later point.

9. Product is Free, But Services Aren’t

This model is unique compared to others, in that you have to give your product away for free, yet require customers to pay for installation, customization, training or other additional services.

    Advantages: This model is great for building trust with your customer base and boosting brand awareness, as any company that offers anything for free will generate considerable buzz.
    Disadvantages: Remember, employing this model means that you are basically running a services business with the product as a marketing cost. Also, a model like this isn’t always the best for scaling your company in the long term, so keep your eye on additional revenue models to utilize later on.

10. Freemium Model

The freemium model is one in which a company’s basic services are free, yet users must pay for additional premium features, extensions, functions, etc. One of the biggest companies to use this model is Linkedin, the most popular business/social media platform.

    Advantages: Similar to the previous model, the freemium model offers something free to users, which is a great way to give them a taste of your product or service while simultaneously enticing them to pay for something later on.
    Disadvantages: This model requires a considerable investment of time and money to reach out to your audience, and even more effort to convert free users into paying customers.
  
Final Thoughts

Remember to do your research, and take the time to decide which model is most ideal for your startup, as once you settle on a revenue model, especially if you’re early stage, it can be hard to pick another. As stated before, this blog post doesn’t cover every revenue model used by startups, but by highlighting the most popular ones, you should have enough information to help you pick the revenue model that will boost your startup into the big leagues.

Powered by Blogger.